Kabut Asap akibat pembakaran hutan di Riau tahun ini sangat terasa mengganggu. Tentusaja karena saat ini kami stay menetap di Pekanbaru. Jadi otomatis kami jadi korban langsung dari bencana kabut asap ini. Dan itu terjadi beberapa bulan, setidaknya dari bukan Juli, hingga sekarang Oktober. Kami sudah 2x mengungsi, bulan Agustus dan September. Tahapan mengungsi yang kedua juga agak drama, karena kabut asap yang luar biasa pekat selama berminggu-minggu membuat sekolah Mas Aidan diliburkan, dan saya yang harus tetap bekerja cemas amat sangat kalau kabut asap ini berakibat ke janin yang saya kandung, serta kabut asap yang sampai membuat saya sesak nafas. Kejadian kebakaran hutan ini juga terjadi berulang hampir setiap tahun yang diakibatkan oleh terbakarnya hutan khususnya lahan gambut di Riau. Tahun ini kabut asap itu datang lebih lama dan lebih tebal. Beberapa penerbangan dihentikan, sekolah ditutup berminggu-minggu, banyak masyarakat yang menderita ISPA, dan kehidupan masyarakat Riau terganggu. Hal ini membuat saya seperti punya hutang artikel buat blog terkait kabut asap ini, tapi saya juga tidak ingin hanya sekedar menceritakan ngungsi mengungsi kami. Jadi, berikut ini saya sumaariin artikel mengenai bencana kabut asap dan karhutla, dari sumber yang valid, seperti saat studi literatur waktu kuliah dulu. Baca-baca, kumpul-kumpul ini itu, summarriiin. Dikutip dari berbagai sumber, berikut saya coba rangkumkan sebuah artikel terkait dengan kebakaran hutan dan lahan, yang di tahun 2019 ini saya alami langsung selama beberapa bulan, terkena langsung dampak nya dan begitu terasa memprihatinkan. Artikel yang saya rangkum ini memang bukan terkait kebakaran 2019 ya, karena final reportnya sepertinya belum saya dapat juga siiih... happy reading! Kebakaran hutan di Indonesia hampir selalu terjadi pada musim kemarau, yaitu pada bulan Agustus, September, dan Oktober, atau pada masa peralihan (transisi). Wilayah hutan di Indonesia yang berpotensi terbakar antara lain di Pulau Sumatera (Riau, Jambi, Sumut, dan Sumsel) dan di Pulau Kalimantan (Kalbar, Kaltim, dan Kalsel). Penyebab kebakaran hutan dan lahan di Indonesia secara umum disebabkan oleh dua faktor. Pertama, karena faktor kelalaian manusia yang sedang melaksanakan aktivitasnya di dalam hutan. Kedua, karena faktor kesengajaan, yaitu kesengajaan manusia yang membuka lahan dan perkebunan dengan cara membakar. Kebakaran hutan karena faktor kelalaian manusia jauh lebih kecil dibanding dengan faktor kesengajaan membakar hutan. Pembukaan lahan dengan cara membakar dilakukan pada saat pembukaan lahan baru atau untuk peremajaan tanaman industry pada wilayah hutan. Pembukaan lahan dengan cara membakar biayanya murah, tapi jelas cara ini tidak bertanggung jawab dan menimbulkan dampak yang sangat luas. Kerugian yang ditimbulkannya juga sangat besar. Kebakaran Hutan dan Lahan menyebabkan terjadinya kerusakan lingkungan. Asap kebakaran hutan dapat mengganggu kesehatan masyarakat dan menimbulkan penyakit infeksi pada saliran pernapasan (ispa) serta kelancaran transportasi akibat visibility yang jelek. Kebakaran hutan yang luas dapat mengganggu masyarakat negara tetangga, dan bila tidak segera diatasi dapat mengakibatkan penilaian negatif masyarakat internasional terhadap pemerintah Indonesia. Latar Belakang Kebakaran Hutan dan Lahan (KARHUTLA) Di masa lalu membakar hutan merupakan suatu metode praktis untuk membuka lahan. Pada awalnya banyak dipraktekkan oleh para peladang tradisional atau peladang berpindah. Namun karena biayanya yang sangat murah, praktek membakar hutan dan lahan banyak diadopsi oleh perusahaan-perusahaan kehutanan dan perkebunan. Motif pembakaran hutan dan lahan kemudian diaplikasikan oleh perusahaan kelapa sawit karena lebih efektif dari pada melakukannya dengan menggunakan cara konvensional dengan penebasan dan bahan kimia. Selain itu, dengan melakukan pembakaran dapat menaikkan PH hingga 5-6 yang cocok untuk menanam kelapa sawit. Berdasarkan tipe bahan bakar dan sifat pembakarannya, kebakaran hutan dan lahan dapat dikelompokkan menjadi tiga tipe, yaitu:
Kebakaran hutan dan lahan antara lain karena faktor alam, biasanya terjadi pada musim kemarau ketika cuaca sangat panas dan faktor pembakaran oleh manusia. Sebab utama dari kebakaran adalah pembukaan lahan yang meliputi:
Sejak Kapan Kabut Asap Terjadi. Kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan yang menyelimuti sejumlah wilayah di Sumatra dan Kalimantan beberapa waktu belakangan ini, telah mengganggu kehidupan masyarakat. Kondisi tersebut terjadi hampir setiap tahun, khususnya di musim kemarau. Pembakaran hutan dan lahan sudah terjadi di Riau sejak 1997, dengan kejadian beberapa kebakaran hutan yang hebat tercatat secara ringkas sebagai berikut. Kebakaran hebat pertama yang merupakan akibat gabungan antara pengelolaan hutan yang tidak benar dan fenomena iklim El Nino menghancurkan 3,2 juta Ha, dimana 2,7 juta Ha merupakan hutan tropis (Schindler dkk, 1989). Tahun 1997-1998 Kebakaran yang besar kembali terjadi. Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) memperkirankan 13 juta Ha hutan dan lahan yang terdampak akibat terbakar ini. Sementara menurut Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) bersama Asian Development Bank (ADB) mengestimasi 9,75 juta Ha (BBC Indonesia 2015). Perhatian meluas terhadap kejadian kebakaran ini pada tahun 1999, di mana kabut asap sampai ke Malaysia dan Singapura. Pada Tahun 2005 jumlah titik api tertinggi di Riau mencapai 23.094 titik api. Pada tahun 2013, kabut asap terjadi dua kali dalam satu tahun. Fenomena yang berbeda dibanding tahun-tahun sebelumnya yang hanya terjadi satu tahun sekali. Berdasarkan pengukuran kualitas udara yang dilakukan oleh Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah (BAPEDALDA) tahun 2013, kondisi asap yang ditimbulkan oleh kebakaran menunjukkan rata-rata konsentrasi partikel mencapai 670 μgr. BNPB memperkirakan lebih dari sekitar 43 juta jiwa penduduk Indonesia terpapar oleh kabut asap akibat kebakaran hutan. Hal ini menimbulkan kerugian secara ekonomi hingga mencapai Rp 200 Trilliun. Selanjutnya kebakaran besar terjadi pada tahun 2015, menurut data KementrianLingkungan Hidup dan Kehutanan menunjukkan total luas kebakaran hutan 2,61 juta Ha (Kontan.co.id, 2016). Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mencatat setidaknya terdapat 95 titik panas sumber kabut asap di Sumatra dan 61 titik panas di Kalimantan. Penyebaran kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan yang terjadi menyelimuti wilayah Sumatra Selatan, Jambi, Riau, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan. Setidaknya 22, 6 juta jiwa menjadi korban di Sumatra dan 3 juta jiwa di Kalimantan korban asap akibat kebakaran hutan dan lahan tersebut.Menurut Departemen Kehutanan, luas lahan hutan yang terbakar tahun 2015 mencapai lebih dari 60.000 hektar dengan 140 titik api. Kabut asap akibat kebakaran hutan menyebabkan konsentrasi partikel asap dan debu naik hingga 10 kali lipat dari rata-rata pada wilayah penduduk di daerah rawan kebakaran hutan. Sebab Terjadinya Kabut AsapPenyebab utama kabut asap adalah pembakaran hutan dan lahan dan Kapolri menyebutkan bahwa 90% dari ke bakaran hutan di Riau adalah karena dibakar, yang mengindikasikan bahwa faktor manusia paling berperan dalam terjadinya kabut pembakaran hutan itu. Siapa yang membakar? Bisa perusahaan yang membuka lahan untuk HTI atau perkebunan bisa juga individu yang membuka lahan untuk berkebun. Pada Tahun 2014 ini, Menteri Kehutanan menyebutkan bahwa ada 120.000 hektar lahan di Riau yang terbakar. Salah satu penyebab kebakaran hutan adalah proses land clearing, yaitu kebakaran hutan karena pembukaan lahan untuk perkebunan sawit, pembangunan industri kayu yang tidak diikuti dengan pembangunan hutan tanaman, besarnya kesempatan yang diberikan pemerintah kepada pengusaha untuk melakukan konvensi lahan menjadi perkebunan monokultur skala besar seperti perkebunan kayu dan perkebunan sawit serta penegakan hukum yang lamban untuk mensikapi tindakan konvensi dan pembakaran yang dilakukan Secara umum ada tiga pemanfaatan kebakaran di Indonesia:
Sebagai alat pembukaan lahan, para pemilik lahan membakar melampaui batas-batas konsesi mereka atau pihak-pihak yang tidak memiliki hak formal terhadap lahan membakar lahan dan lantas mengklaim lahan tersebut. Tanpa adanya penegakan hukum yang efektif, tidak akan ada pengendalian. Dengan besarnya keuntungan dari hasil tanaman seperti kelapa sawit, terdapat insentif yang kuat untuk melanjutkan praktik ini. Analisis oleh Center for International Forestry Research (CIFOR) memberikan contoh peran pembakaran dalam industri minyak kelapa sawit yang menguntungkan. Penelitian pada 11 situs di luar perkebunan yang dikonsesikan di empat kabupaten di Riau, CIFOR menyimpulkan bahwa pembakaran hutan untuk pembebasan dan pembukaan lahan menghasilkan arus kas setidaknya sebesar 3.077 dolar AS per hektar kelapa sawit hanya dalam waktu tiga tahun saja.5 Walaupun proses produksinya melibatkan cara-cara ilegal dalam pembukaan lahannya, minyak kelapa sawit yang dihasilkan diproses di fasilitas yang sama dengan buah kelapa sawit yang dihasilkan secara legal. Lalu kedua jenis minyak tersebut dijual untuk konsumsi. Jika setiap hektar lahan yang terbakar pada tahun 2015 diubah menjadi perkebunan kelapa sawit, nilainya dapat mencapai sekitar 8 miliar dolar AS, menunjukkan tingginya laba yang dapat dihasilkan dalam waktu singkat. Buruknya pengaturan dan tata kelola lahan memungkinkan berlanjutnya kegiatan yang bersifat merusak secara ekologis ini. Lahan gambut menjadi sasaran karena umumnya lahan- lahan tersebut tidak berpenghuni dan umumya bebas dari klaim yang tumpang tindih. Dua foto diatas juga sepertinya bisa menggambarkan salah satu efek tidak terlihat dari bencana kabut asap yang terjadi selama berbulan-bulan. Buat kami yang bekerja dilokasi remote area, masih harus kelapangan dalam kondisi udarar yang tidak sehat (mereka, saya sih engga.. ) maka pemakaian masker HEPA yang jarang dilakukan dan hanya sesekali sedikit menghibur ditengah kepungan sesak oleh asap.. wkwkwk... Berapa Kerugian Akibat Kabut Asap. Kerugian akibat kabut asap tidak hanya matreril tetapi juga immaterial. Diperkirakan kerugian materil mencapai 20 trilyun rupiah atau 3 tahun APBD Riau, selain itu ada 38.744 penderita ISPA di Riau, Standar Polusi Udara di Pekanbaru mencapai 310 Psi atau sangat ber-bahaya, ada puluhan penerbangan yang ditunda, lebih dari 10 hari pelajar di beberapa Kota dan Kabupaten di Provinsi Riau tidak dapat menikmati pendidikan karena diliburkan, ada 120.000 hektar lahan hutan yang menjadi kritis, lebih dari 100 milyar dana disediakan pemerintah untuk memadamkan api, dan lebih dari dua bulan kehidupan masyarakat tidak normal.Kerugian akibat kebakaran hutan dan lahan sangat besar terhadap kehidupan manusia maupun terhadap kehidupan mahluk hidup lainnya baik secara langsung maupun tidak langsung, antara lain: Dampak Ekologi Mengganggu proses ekologi antara lain suksesi alami, produksi bahan organic dan proses dekomposisi, siklus unsure hara, siklus hidrologi dan pembentukan tanah. Selain itu mengganggu fungsi hutan sebagai pengatur iklim dan penyerap karbon. Lebih jauh dapat merusak Daerah Aliran Sungai (DAS). Hilangnya keberagaman hayati dan ekosistemnya. Kebakaran juga melepaskan banyak emisi karbon dan gas rumah kaca ke atmosfer yang memperburuk perubahan iklim. Dampak Ekonomi Hilangnya hasil hutan (kayu dan non kayu). Terganggunya aktifitas ekonomi baik dari sektor perkebunan, transportasi, pariwisata, perdagangan dan sebagainya. Biaya pengobatan terhadap gangguan kesehatan, dan biaya langsung untuk memadamkan api. Dampak Kesehatan Gangguan pernapasan ringat sampai akut. Asap yang dihasilkan dari kebakaran mengandung sejumlah gas dan partikel yang berbahaya seperti sulfur dioksida (SO2), karbon monoksida (CO), formaldehid, akrelin, benzene, nitrogen oksida (NOx) dan ozon (O3). Dampak langsung dari kebakaran hutan sebagai berikut.
Meskipun demikian, besarnya kerugian dan dampak tersebut tak mampu membuat penegakan hukum terkait kebakaran hutan dan lahan serta kabut asap disikapi dengan bijak dan tuntas. Padahal kebakaran hutan dan lahan serta kabut asap telah terjadi selama bertahun-tahun tanpa ada perlindungan terhadap hutan sebagai bagian dari lingkungan hidup buat masyarakat dan penegakan hukum terhadap penyebab kebakaran hutan dan lahan. Selain itu, hal ini juga merefleksikan bahwa ada sesuatu yang salah dengan pengelolaan kehutanan dan perkebunan di Indonesia. Dikutip dari Laporan pengetahuan Lanskap Berkelanjutan Indonesia: 1 – Kerugian dan kebakaran Hutan, Analisa Dampak (World bank Group) Menurut pemerintah, 2,6 juta hektar lahan dan hutan telah terbakar antara bulan Juni dan Oktober 2015,1 setara dengan ukuran empat setengah kali lipat Pulau Bali. Kebakaran yang diakibatkan ulah manusia tersebut – lebih dari 100.000 kebakaran-kebakaran dilakukan untuk mempersiapkan lahan pertanian dan untuk memperoleh tanah secara murah. Dengan tidak diterapkannya pola pembakaran yang terkendali maupun penegakan hokum yang memadai, kebakaran menjadi tidak terkendali, didorong oleh kekeringan dan diperburuk dengan pengaruh El Niño. Kerugian ekonomi dan lingkungan yang luas ini berulang setiap tahun. Hanya beberapa ratus bisnis dan beberapa ribu petani saja yang memperoleh keuntungan dari praktik-praktik spekulasi tanah dan perkebunan. Sementara puluhan juta rakyat Indonesia yang lain menderita kerugian dengan adanya pengeluaran biaya kesehatan dan gangguan ekonomi. Pada tahun 2015, kerugian bagi negara Indonesia akibat kebakaran diperkirakan mencapai Rp 221 triliun (16,1 miliar dolar AS). Pengeringan dan konversi lahan gambut, yang terutama didorong oleh produksi minyak kelapa sawit, berkontribusi terhadap peningkatan intensitas kabut asap dari kebakaran. Sekitar 33 persen dari jumlah lahan yang terbakar merupakan lahan gambut, yang menyebabkan kabut asap berbahaya yang menyelimuti wilayah Indonesia dan kawasan sekitarnya, mengganggu perhubungan, perdagangan, dan pariwisata, memaksa penutupan sekolah-sekolah, dan memperburuk kesehatan warga setempat. Kebakaran tahun 2015 itu juga berkontribusi secara signifikan terhadap emisi gas rumah kaca (GRK) di Indonesia. Pembakaran telah lama menjadi alat pertanian di Indonesia. Secara tidak resmi, proses pembakaran juga berperan penting dalam pembukaan lahan. Sehingga sementara banyak yang dirugikan akibat meluasnya kebakaran dan kabut asap, sejumlah pihak memperoleh keuntungan besar. Bank Dunia memperkirakan bahwa kebakaran di Indonesia di tahun 2015 menelan biaya setidaknya Rp 221 triliun (16,1 dolar AS) atau setara dengan 1,9 persen dari PDB tahun 2015. Angka ini lebih dari dua kali lipat biaya rekonstruksi pasca tsunami Aceh. Analisis ini memperkirakan dampak terhadap pertanian, kehutanan, perdagangan, pariwisata, dan perhubungan. Efek jangka pendek dari paparan kabut asap terhadap kesehatan dan penutupan sekolah juga disertakan. Biaya lainnya yang diketahui mencakup biaya terkait lingkungan hidup, tanggap darurat, dan pemadaman kebakaran. Namun, perkiraan ini belum sepenuhnya mengidentifikasi dampak kesehatan jangka panjang akibat keterpaparan yang berkelanjutan terhadap kabut asap, maupun hilangnya semua layanan ekosistem. Selain itu, perkiraan tersebut tidak menyertakan kerugian secara regional maupun global. Perkiraan yang disajikan di sini mencakup periode 1 Juni - 31 Oktober 2015 dan 2,4 juta dari 2,6 juta hektar lahan – atau 94 persen – dari daerah yang terbakar di Sumatera Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Riau, Jambi, dan Papua. Analisis ini menggunakan metodologi kajian bencana yang dikembangkan oleh Komisi Ekonomi PBB untuk Amerika Latin dan Karibia (UN Economic Commission 1 for Latin America and the Caribbean, ECLAC). Biaya didasarkan pada analisis dari jenis lahan yang terbakar sebagaimana dilaporkan oleh Pemerintah Indonesia. Sektor pertanian dan kehutanan Sektor pertanian dan kehutanan telah menderita kerugian dan kerusakan yang diperkirakan sebesar Rp 120 triliun (8.8 miliar dolar AS) pada tahun 2015. Kerusakan sektor pertanian termasuk kerusakan infrastruktur dan peralatan, sedangkan kerugiannya mencakup biaya rehabilitasi lahan yang terbakar untuk penanaman dan hilangnya pendapatan produksi selama periode rehabilitasi ini. Kebakaran tahun 2015 diperkirakan menyebabkan kerugian tambahan sekitar Rp 11 triliun (800 juta dolar AS) per tahun untuk tiga tahun ke depan terkait dengan perkebunan (misalnya, kelapa sawit, karet, dan kelapa) dan lima tahun berikutnya untuk hutan. Kerusakan tanaman perkebunan membawa dampak bagi perusahaan-perusahaan dan para petani pemilik lahan perkebunan kecil. Kerusakan tanaman pangan (Rp 23,7 triliun) menyebabkan penurunan pendapatan para petani dan dapat membawa dampak kepada ketahanan pangan. Kerugian sektor kehutanan, sebesar Rp 54 triliun (3,9 miliar dolar AS), merupakan nilai yang hilang dari kayu dan biaya reboisasi. Biaya untuk lingkungan hidup cukup besar, hingga 26 persen dari total; dan termasuk hilangnya keanekaragaman hayati (menggunakan nilai yang ditetapkan pemerintah mengenai keanekaragaman hayati per hektar), serta kerugian layanan ekosistem. Karena dampaknya terhadap layanan ekosistem sangat sulit untuk diukur, penilaian berfokus pada satu layanan tunggal yang hilang – yaitu penyimpanan karbon9 Hilangnya kapasitas penyimpanan karbon merupakan biaya terbesar dari kebakaran tersebut, menekankan dampaknya secara global. Sektor perhubungan Tingginya kadar kabut asap sepanjang bulan September dan Oktober mengakibatkan kerugian sebesar Rp 5,1 triliun (372 juta dolar AS) bagi sektor perhubungan. Sebagian besar kerugian tersebut ditanggung oleh pelabuhan, karena pengiriman muatan terganggu oleh buruknya jarak pandang. Biaya perhubungan berkontribusi terhadap pertumbuhan yang lebih lambat di sektor jasa perdagangan, yang mengalami kerugian sebesar Rp 18,3 triliun (1.3 miliar dolar AS). Sektor pariwisata Sektor pariwisata mengalami kerugian sebesar Rp 5,5 triliun (399 juta dolar AS) dalam pendapatan akibat kebakaran dan kabut asap. Sektor manufaktur dan pertambangan Kerugian yang diderita oleh sektor manufaktur dan pertambangan mencapai Rp 8,4 triliun (610 juta dolar AS). Aspek Kesehatan Kabut asap juga telah berkontribusi terhadap kematian 19 orang dan lebih dari 500.000 kasus infeksi saluran pernafasan akut. Biaya kesehatan langsung mencapai Rp 2.1 triliun (151 juta dolar AS). Biaya jangka panjangnya belum dapat diukur. Penelitian yang ada menunjukkan paparan jangka panjang terhadap polusi udara berkorelasi dengan peningkatan penyakit gangguan jantung dan pernapasan kronis. Sebuah studi tentang efek dari krisis kabut asap Indonesia tahun 1998 terhadap kematian janin, bayi, dan anak batita menunjukkan bahwa polusi udara menyebabkan jumlah anakanak yang mampu bertahan hidup menurun sebesar 15.600 anak. Penutupan sekolah Kabut asap juga memaksa penutupan sekolah hingga 34 hari, yang mengakibatkan kerugian sebesar Rp 540 miliar (34 juta dolar AS).14 Dalam beberapa kasus, sekolah ditutup selama berminggu-minggu, mewajibkan para guru untuk mengakomodasi pemberian pekerjaan rumah. Kondisi ini semakin parah pada bulan Oktober, yang berdampak terhadap 24.773 sekolah dan 4.692.537 siswa. Biaya perawatan anak dan upah yang hilang meningkat ketika orang tua harus menjaga anak-anak yang biasanya berada di sekolah; biaya ini tidak masuk dalam penelitian Bank Dunia. Dalam jangka panjang, penutupan sekolah yang berkepanjangan ini dapat berkontribusi terhadap tingkat kelulusan yang lebih rendah, terutama jika sulit untuk menambah jumlah hari guna menggantikan hari sekolah yang hilang. Biaya lainnya – Dampak terhadap flora dan fauna Dampak sepenuhnya dari kebakaran dan kabut asap sistemik Indonesia terhadap flora dan fauna tidak diketahui. Kebakaran menghancurkan keberagaman genetika alamiah, yang membantu spesies beradaptasi agar tahan terhadap parasit dan penyakit menular. Biomassa yang terbakar menghasilkan cikal bakal (precursor) dari ozon (O3) di tingkat dasar (troposfer), yang berdampak terhadap pertumbuhan tanaman dan fotosintesis serta menyebabkan efek jangka panjang pada struktur dan fungsi ekosistem. Ozon telah terbukti mengurangi hasil tanaman pangan utama dan mempengaruhi kualitas gizi dari gandum, beras dan kedelai. Ozon dapat pula mengurangi kapasitas lahan untuk dapat bertindak sebagai penyerap karbon. Material partikulat dalam kabut asap juga telah terbukti mengurangi curah hujan lokal, yang pada gilirannya, dapat berdampak pada tanaman yang baru ditanam Paparan berkepanjangan terhadap kabut asap juga dapat menyebabkan “efek gunung berapi”, yaitu, penurunan produktivitas tanaman dalam jangka pendek akibat paparan sinar matahari yang terbatas dan efek merusak pada fisiologi tanaman dan proses fotosintesis. Dalam jangka panjang, hal tersebut dapat menyebabkan melemahnya kemampuan spesies tanaman secara keseluruhan untuk pulih dari guncangan akibat paparan kumulatif terhadap tekanan. Dalam kasus yang ekstrem, paparan kabut asap dapat mempengaruhi kemampuan suatu spesies untuk bertahan hidup. Kebakaran dan kabut asap juga berpengaruh negatif terhadap para penyerbuk, yang pada gilirannya mempengaruhi produksi pertanian. Paparan kabut asap yang kronis menciptakan tekanan berkelanjutan terhadap lingkungan, yang dampaknya terhadap produktivitas dan evolusi belum diketahui. Krisis kebakaran yang sifatnya berulang di Indonesia sangat memprihatinkan. Spesies dapat beradaptasi, namun adaptasi tidak selalu menguntungkan atau mungkin dilakukan. Kebakaran menghilangkan organisme hidup yang ada di tanah, dan membutuhkan waktu bertahun-tahun sebelum spesies perintis ini bisa berkolonisasi lagi. Lebih memprihatinkan lagi adalah tekanan terhadap lingkungan hidup dalam jangka panjang, yang akhirnya akan mengarah pada titik kritis. Setelah itu, ekosistem akan berubah secara permanen dan tidak dapat dikembalikan lagi seperti kondisi semula. Bagaimana atau kapan ekosistem akan berubah tidaklah diketahui. Tetapi dampak dari proses tersebut dapat menjangkau jauh melampaui batas wilayah Indonesia. Reference:
0 Comments
Leave a Reply. |
Life, is the classroom
My_LifeMeans: My life in words "Formal Education will make you a living;
Self education will make you a fortune." "Happiness is not something you postpone for the future;
it is something you DESIGN for the present. for right NOW" You decide everyday to be happy by the choices you make every day. Archives
January 2025
Categories |
this page replacing my old blog page: https://mariacreativity.blogspot.com/
|
Site powered by Weebly. Managed by Exabytes - Indonesia